Penulisan Mushaf al-Qur'an Pada Masa Rasulullah, Abu Bakar dan Utsman bin Affan
a. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah
Al-Qur’an
dikumpulkan pada dua masa, masa Rasulullah dan masa khulafaur Rasyidin.
Masing-masing tahap pengumpulan ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Pengumpulan
pada masa Nabi mempunyai dua pengertian:
1.
Menghapalkan Al-Qur’an di luar
kepala.
2.
Menuliskan Al-Qur’an pada
benda-benda yang bisa ditulis.
Pada pengertian
pertama, kita tahu bahwa sahabat-sahabat Nabi yang hafal Al-Qur’an diluar
kepala seperti Abdullah bin mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan
lain-lain. Diantara factor yang mendorong mereka menghafal Al-Qur’an adalah
kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an dank arena keberadaan kebanyakan mereka
yang ummi menyebabkan mereka hanya mengandalkan kepada hafalan. Factor
lainnya adalah penghargaan Nabi dan sahabat lainnya terhasap mereka yang
mempunyai hafalan banyak.
Akan halnya dengan pengertian yang kedua, yaitu menuliskan Al-Qur’an, maka
dalam periwayatan disebutkan bahwa nabi selalu menyuruh para sahabatnya menulis
Al-Qur’an segara setelah al-Qur’an diturunkan. Mereka yang
terlibat dalam penulisan wahyu kurang lebih 40 orang, suatu jumlah yang cukup
besar. Agar supaya konsentrasi para sahabat hanya kepada Al-Qur’an, maka nabi
melarang para sahabatnya mencatat selain al-Qur’an. Dalam sebuah hadits
disebutkan:
عن أبي سعيد الخضري رضي الله عنه قال رسول الله ص.م : لا
تكتبوا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فاليمحه
Artinya: Janganlah kamu menulis ariku selain Al-Qur’an, barangsiapa menulis
Al-Qur’an, maka hapuskanlah.
Rasulullah SAW
menyuruh para penulis wahyu untuk mencatat setiap wahyu yang diterimanya,
sehingga Al-Qur’an yang terhimpun didalam dada mereka masing-masing dialihkan
kedalam bentuk tulisan. Terkadang para sahabat menulis ayat-ayat yang turun
kepada beliau, meskipun Rasulallah SAW tidak menyuruh mereka. Mereka
menuliskannya di media-media tertentu, antara lain:
Usb jama’ dari asieb, yaitu pelepah
kurma yang masih keras
Likhaf jama’ dari lukhfah, yaitu
lempenan-lempengan batu
Al-Karnief jama’ dari kanaafah yaitu
akar keras dari pohon saf
Riqa’ jama’ dari Riqah yaitu kulit
Al-‘Aqtab jama’ dari Qiatb, yaitu
pelana kuda
Aktaf jama’ Katf, yaitu tulang
keledai atau kambing yang telah kering
Ini menunjukkan
betapa besar kesulitan yang dipiukul para sahabat dalam menuliskan Al-Qur’an.
Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana
tersebut. Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada Rasulullah
baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi
tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada sesorang belum tentu dimiliki
oleh yang lain. Rasulullah berpulang keRahmatullah disaat Al-Qur’an telah
dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan
diatas, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya
saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam
tujuh huruf, tetapi Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang
menyeluruh (lengkap). Pada saat itu (sebelum nabi wafat) belum diperlukan
membukukan Al-Qur’an dalam satu m ushaf, sebab nabi masih selalu menanti
turunnya wahyu dari waktu kewaktu. Sesudah berakhir masa turunnya
al-qur’an dengan wafatnya Rasulullah, maka
Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para khulafaturrasyidiin
sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada ummat tentang jaminan
pemeliharaan Al-qur’an dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa abu bakar
atas pertimbangan usulan Umar.
b. Penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar
Abu Bakar
menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada
peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab.
Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi
orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah terjadi pada tahun dua belas
hijri melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Al-Qur’an. Dalam peperangan
ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin khatab merasa
sangat khawatir melihat kondisi ini, lalu ia menghadap Abu bakar dan
mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karena
dikhawatirkan akan musnah.
Abu bakar
menolak usulan ini karena berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah
dilakukan Rasulullah. Tetapi Umar terus membujuknya, sehingga Allah membukakan
hati Abu bakar untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu bakar memerintahkan
Zaid bin tsabit , ia menceritakan kepadanya kekhawatian dan usulan Umar. Pada
mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu bakar sebelum itu. Keduanya lalu
bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada
perintah penulisan Al-Qur’an itu. Lalu mulailah Zaid
mengumpulkan Al-Qur’an dan menuliskan ayat demi ayat dengan merujuk
kepada al-Qur’an yang ditulis pada kepingan-kepingan pada masa nabi, disamping,
merujuk pula pada hafalan para sahabat nabi yang lain. Setelah selesai,
akhirnya mereka menamakan tulisan tersebut dengan mushaf atau kumpulan dari
lemebaran-lembaran yang ditulis, kemudian mushaf itu disimpan di tangan Abu
Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke
tangan Umar dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu
berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Ustman ,
Ustman memintanya dari tangan Hafsah.
c. Penulisan Pada Masa Ustman bin Affan
Pada masa
sahabat Ustman bin Affan, untuk ketiga kalinya kembali al-Qur’an ditulis.
Penyebabnya adalah Mereka yang berperang itu ada prajurit dari Irak yang cara
membaca Al-Qur’an mereka dari sahabat nabi yang bermukim disana dan ada
prajurit dari Syiria yang cara membacanya juga berasal dari sahabat nabi yang
dikirim kesana. Kedua bacaan itu memang ada perbedaan, karena dahulu nabi
memang mengajarkannya berbeda dengan tujuan untuk memberi kemudahan, mengingat
dialek suku arab yang berbeda-beda. Namun pada generasi penerus (Tabi’in)
perbedaan cara membaca Al-Qur’an ini justru menjadi pemicu pertikaian yang
mengkhawatirkan.
Khabar
pertikaian ini sampai kepada khalifah Ustman bin Affan di Madinah. Akhirnya
Ustman memprakarsai penulisan kembali Al-Qur’an dengan tujuan agar kaum
muslimin mempunyai rujukan tulisan al-Qur’an yang benar-benar bisa di
pertanggungjawabkan. Dengan kata lain Ustman ingin mempersatukan mushaf yang ada
(Tauhidul mashahif).
Ustman kemudian
membentuk panitia empat yang bertugas menulis kembali Al-Qur’an Karim, mereka
adalah:
1.
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash,
2.
Abdullah bin Zubair.
3.
Abdurrahman bin Harits bin Hisyam,
4.
Zaid bin Tsabit.
Sebagian
riwayat menambahkan Ibnu abbas masuk sebagai tim.
Setelah selesai, Usman mengembalikan lembaran-lembaran yang asli
kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula ke setiap wilayah masing-masing satu
mushaf, dan ditahanyya satu mushaf untuk di Madinah. Yaitu mushafnya sendiri
yang dikenal dengan nama “Mushaf Imam”. Kemudian ia memerintahkan membakar
semua bentuk lembaran atau mushaf yang selain itu.
Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap
berada ditangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran-lembaran tersebut
dimusnahkan, dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh
Marwan bin Hakam lalu dibakar.
Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak
ditemukan sebuah pun juga. Keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam
kitabnya Fada’ilul Qur’an menyatakan bahwa ia menemukan satu buah diantaranya
di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis pada lembaran yang – menurutnya –
terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkannya pula mushaf Syam ini dibawa ke
Inggris setelah beberapa lama berada ditangan kaisar Rusia di perpustakaan
Leningrad. Juga dikatakan bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada
tahun 1310 H.
d. Ar-Rasmul Usmany
Zaid bin Tsabit bersama tiga orang quraisy telah menempuh suatu
metode khusus dalam penulisan al-Qur’an yang disetujui oleh Ustman. Para ulama
menamakan metode tersbut dengan Ar-Rasmul Ustmany lil Mushaf, yaitu dengan
dinisbatkan kepada Ustman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang
status hukumnya.
1.
Sebagian dari mereka berpendapat
bahwa Rasm Ustmani buat Al-Qur’an ini bersifat Tauqifi yang wajib dipakai dalam
penulisan Al-qur’an, dan harus sungguh-sungguh disucikan. Mereka menisbahkan
tauqifi dalam penulisan al-Qur’an ini kepada Nabi.
فذ
كروا انه قال لمعاوية – احد كتبة الوحي : ألق الدواة, وحرف القلم, وانصب الياء,
وفرق السين, ولا تعورالميم, وحسن الله, ومد الرحمن, وجود الرحيم, وضع قلمك على
أذنك اليسرى, فإنه أذكرلك.
Artinya: “Mereka
menyebutkan bahwa Nabi pernah mengatakan kepada Mu’awiyah, salah seorang
penulis wahyu: “Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan “ya”, bedakan
“sin”, jangan kamu miringkan “mim”, baguskan tulisan lafal “Allah”, panjangkan
“Ar- Rahman”, baguskan “Ar-Rahim” dn letakkanlah penamu pada telinga
kirimu, karena yang demikian akan lebih dapat mengingatkan kamu.
Ibnu Mubarak mengutip gurunya, Abdul Aziz
ad-Dabbag, yang menyatakan bahwa, “para sahabat dan orang lain tidak
campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan al-Qur’an karena penulisan
al-Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada
mereka untuk menuliskannya dalam bentuk yang dikenal sekarang, dengan
menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat
terjangkau oleh akal.
2.
Banyak Ulama berpendapat bahwa rasm Ustmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi
hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Usman dan diterima umat
dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan
tidak boleh dilanggar. Asyhab berkata: “Malik ditanya; apakah mushaf boleh ditulis menurut
ejaan (kaidah penulisan) yang diadakan orang? Malik menjawab; Tidak, kecuali
menurut tata cara penulisan yang pertama. (“riwayat Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni’).
Kemudian kata Asyhab pula: “dan tidak adaorang yang menyalahi rasm itu diantara
ulama umat Islam.” Ditempat lain Asyhab mengatakan: “malik ditanya tentang
huruf-huruf dalam al-Qur’an seperti “ wawu” dan “alif”, bolehkah mengubah kedua
huruf itu dari mushaf apabila didalam mushaf terdapat hal seperti itu? Malik
menjawab: Tidak.” Abu Amr mengatakan, yang dimaksud disini adalah wawu dan alif
tambahan dalam rasm, tetapi tidak nampak dalam ucapan seperti “ ulu” أولوا. Dan imam Ahmad berpendapat: “haram
hukumnya menyaklahi mushaf usmani dalam hal wwu, ya’, alif atau yang lain.
3.
Segolongan orang berpendapat
bahwa Rasm Usmani iu adalah hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada
salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk
imla dan rasm itu tersebar luas untuk mereka.
Rasm usmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan
diwarisi oleh umat islam sejak masa usman. Dan pemeliharaan rasm usmani
merupakan jaminan kuat bagi penjagaan al-qur’an dari perubahan dan penggantian
huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya menurut istilah imla di
setiap masa, maka hal ini akan mengakibatkan mushaf dari masa kemasa. Bahkan
kaidah-kaidah imla itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang
sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata diantara satu negri dengan negri
yang lain.
e. Perbaikan Rasm Usmani
Musahf usmani tidak memakai tanda baca tititk dan syakal, karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan oaring-orang arab yang masih murni,
sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik.
Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran
(dengan bahasa non Arab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan
penulisan mushaf dengan syakal. Dan lain-lain dapat membantu pambacaan yang
benar.
Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan
tentang hal itu. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan
hal itu adalah Abul Aswad ad-Du’ali, letak pertama kaidah-kaidah bahasa Arab,
atas permintaan Ali bin Abi Thalib.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usah perbikan tersebut
karena khawatir akan terjadi penambahan dalam al-Qur’an, berdasarkan ucapan
Ibnu Mas’ud: “bersihkanlah al-Qur’an dengan apapun.”
Kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan
anjuran. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Daud dari Al-Hasan dan Ibnu Sirin bahwa
keduanya mengatakan: “bahwa tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf.”
Dan diriwayatkan pula Rabi’ah bin Abi rahman an-Nawawi mengatakan: “pemberian
titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab) karena ia dapat menjaga
mushaf dari penyimpangan dan kesalahan.” Perhatian untuk menyempurnakan mushaf
kini telah mencapai puncaknya dalam tulisan Arab (khat Arabi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar