Blogger Widgets

Rabu, 26 November 2014

Pluralitas mushaf era nabi dan sahabat

PLURALITAS MUSHAF AL-QUR’AN ERA NABI DAN SAHABAT

A. Konsep Wahyu, al-Qur’an dan Mushaf
Untuk dapat memahami terjadinya perbedaan mushaf secara logis dan kritis, maka harus dipahami lebih dahulu konsep wahyu, al-Qur’an dan mushaf itu sendiri.


          1. Wahyu
Wahyu dalam bahasa Arab berakar dari fi’il madhiWaha”, yang berarti penyampaian pengetahuan kepada orang lain secara samar dan rahasia, dan orang itu memahami apa yang diterimanya.Substansi pewahyuan adalah penyampaian informasi secara tersembunyi, dan oleh karena itu maka apa yang diwahyukan hanya dapat dipahami oleh Tuhan yang menyampaikan dan Rasul yang menerimanya. Sedangkan substansi informasi pengetahuan tersebut tidak lain adalah ajaran-ajaran dari Allah SWT sebagai petunjuk untuk kehidupan umat manusia.
Dalam perdebatan ilmu kalam selalu muncul persoalan apakah zat Allah SWT memiliki sifat atau tidak. Namun hampir semua ilmuawan muslim sepakat bahwa wahyu Allah SWT adalah azali, tanpa lafaz yakni tidak ada awal dan tidak ada akhir, tidak menggunakan bahasa tertentu (la lughat), tidak berhuruf (la harfa), dan tidak berbentuk suara tertentu (la shauta). Kesimpulannya: Wahyu adalah kalam Allah atau firman Allah tanpa lafaz (suara, huruf, dan bahasa). Oleh karena  proses pewahyuan terjadi demikian rahasia, tanpa bahasa verbal dan di alam azali, maka wahyu berada di luar analisis ilmiah.
Bentuk-bentuk wahyu beragam, yaitu berupa isyarat  (Q.Surat Maryam : 11), ilham,  (Q. Surat Qashash: 7), bisikan, (Q. Surat Al-An’am : 12) dan (4) pesan (Q. Surat Al-Anfal: 12).
  
              2. Al-Qur’an
Kebanyakan ulama, seperti Subhi Al Salih, mendefinisikan Al-Qur'an sebagai “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah”. 

Wahyu Tuhan yang diterima oleh Rasul SAW sebagai pengemban amanah harus disampaikan kepada manusia. Wahyu atau pesan Tuhan,  yang semula tanpa lafaz dan hanya dipahami oleh Rasul SAW, ketika disampaikan kepada manusia harus menggunakan lafaz bahasa tertentu, agar dapat diterima dan dipahami oleh mereka. Dalam konteks al-Qur’an ini, sistem bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab karena memang audiens awal adalah masyarakat Arab.
Jika proses komunikasi Tuhan dengan Rasul SAW, atau peyampaian wahyu, menggunakan bahasa rahasia, bahasa parole, maka komunikasi atau penyampaian wahyu kepada masyarakat Arab sudah menggunakan bahasa natural keduniaan, dan itulah bahasa masyarakat Arab. Dalam teori Muhammad Syahrur, proses penurunan wahyu ketika masih di alam azali dari Allah SWT kepada malaikat di langit dunia disebut dengan al-Tanzil. Sedangkan proses penurunan wahyu dari langit ke alam dunia, oleh Syahrur, dinamakan al-Inzal.
Wahyu yang sudah diterima oleh Rasul SAW lalu disampaikan (dibacakan) kepada manusia dalam bentuk bahasa Arab inilah yang kemudian dinamakan al-Qur’an. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang sudah terucap secara lisan dan dibaca dalam bahasa Arab.
Dalam membaca al-Qur’an secara lisan ini, tentu audiens masyarakat Arab memiliki kemampuan, keahlian, pengetahuan dan kebiasaan berbeda. Oleh karena perbedaan itu maka dapat dipahami dan dimaklumi jika kemudian Rasul SAW memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada para sahabat untuk berbeda dalam membaca lafaz-lafaz al-Qur’an sesuai dengan dialek-dialek bahasa Arab yang beragam, sepanjang masih memiliki tujuan makna yang sama. Kelonggaran yang diberikan oleh Nabi SAW dalam membaca lafaz-lafaz al-Qur’an tertuang dalam sabda beliau  yang berbunyi: “ Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah al-Qur’an itu dengan cara mudah.
Penyampaian pesan Allah SWT, dalam bentuk bacaan al-Qur’an kepada manusia tentunya masih menggunakan bahasa lisan atau bahasa oral. Setiap kali menerima wahyu, maka Nabi SAW kemudian membacakannya kepada para sahabat, dan mereka pun menghapalnya. Tradisi lisan atau menghapal dalam masyarakat Arab merupakan tradisi mulia dan lebih populer melebihi tradisi tulis. Ketika bacaan al-Qur’an dalam bentuk lisan beralih dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan maka muncul konsep mushaf.

3. Mushaf
Kata Mushaf  atau Shuhuf  berasal dari bahasa Arab Selatan kuno. Kata shuhuf  bentuk jamak dari shahifah yang berarti selembar bahan yang digunakan untuk tempat menulis, tetapi berbagai lembaran tersebut masih terpisah-pisah tidak terjilid.


Mushaf  al-Qur’ān adalah berbagai lembaran yang memuat catatan tentang ayat-ayat al-Qur’ān yang masih terpisah-pisah dan tidak dijilid atau dibukukan dalam satu buku khusus.
Jadi mushaf adalah kumpulan wahyu al-Qur’an dalam bentuk catatan tertulis. Dalam konteks ini, jika al-Qur’an bersifat terbuka maka mushaf merupakan wahyu tercatat yang sudah tertutup. Al-Qur’an dibaca dan dihapal secara lisan oleh para sahabat Nabi dengan berbagai bacaan yang berbeda, baik baris/harakat, huruf, maupun lafaz/kata. Sedangkan mushaf merupakan bacaan dan catatan al-Qur’an menurut versi tertentu yang bentuknya sesuai dengan pengetahuan atau kebiasaan sahabat yang mencatatnya.
Pada awalnya bentuk mushaf al-Qur’an beragam atau bermacam-macam. Namun nantinya pada era khalifah Utsman mushaf yang beragam itu diseragamkan menjadi satu mushaf, yang sampai saat ini dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Ketika standarisasi mushaf terjadi, maka dampaknya tidak sebatas penyeragaman bentuk, tetapi juga berpengaruh terhadap pembatasan dalam pemahaman dan keleluasaan dalam mengungkapkan bacaan al-Qur’an dan pemaknaannya. Di sinilah Arkoun menegaskan bahwa penyeragaman mushaf sebenarnya berakibat kepada upaya penyeragaman pemahaman, dan lebih jauh lagi pembakuan mushaf tersebut juga dapat berakibat kepada pembekuan pemikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar