Blogger Widgets

Selasa, 25 November 2014

SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MUSHAF


SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MUSHAF



          
 

Persoalan mengapa terjadi perbedaan dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an (perbedaan mushaf) telah mendapat perhatian dan dijawab oleh kalangan ilmuwan muslim dengan berbagai pendekatan.


A.    Pendekatan tradisionalis melihat perbedaan dalam bacaan dan tulisan al-Qur’an sebagai ketentuan dari Nabi atau bahkan langsung dari Allah SWT. Dalam pendekatan ta’abbudiy ini ada anggapan kuat bahwa berbagai tulisan al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah standar bahasa Arab memang berasal dari Nabi, sebagaimana peletakkan urutan serta nama ayat dan surat juga berasal dari Beliau. Perspektif tradisionalis ini memang lebih banyak mengangkat aspek realitas namun cenderung tidak kritis karena kurang menggali latar belakang perbedaan dalam penulisan atau pembacaan al-Qur’an. Kelemahan lain dari pendekatan ini adalah kurang mengungkap nilai-nilai positif dan pemanfaatan perbedaan untuk menggali kekayaan dan kedalaman pemikiran Islam ke depan.  Kata shalat dan zakat dalam mushaf Utsmani misalnya ditulis dengan huruf waw, padahal kaidah standar menggunakan huruf alif. Namun ada yang meyakini penyimpangan seperti ini memang berasal dari Nabi SAW sehingga harus diikuti apa adanya. Bagi kalangan ini, dispensasi kebolehan berbeda dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an hanya bersifat darurat, untuk sementara pada situasi saat itu saja, dan tidak berlaku lagi untuk masa dan orang-orang sesudahnya. Asumsi seperti ini ternyata banyak dipertahankan oleh banyak ulama tafsir atau penulis kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an. Pendekatan dan pola pikir seperti ini tentu cenderung bersifat taqlid sehingga kurang mengembangkan inovasi dan kreatifitas umat  Islam. Pandangan tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Said Sukamta yang menyatakan bahwa kebolehan berbeda dalam bacaan atau tulisan al-Qur’an pada masa Nabi memang ada namun kebolehan itu bersifat terbatas dan darurat. Untuk saat ini tidak boleh ada perbedaasn lagi.
B.     Pendekatan Kritis memandang perbedaan dan penyimpangan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an bukan sebagai hal yang alami, tetapi justru mencurigai memang ada unsur-unsur kesalahan di dalamnya. Kesalahan ini sangat mungkin dilakukan oleh tim penulis mushaf bentukan khalifah Utsman yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit atau juga dilakukan oleh individu sahabat tertentu ketika menulis mushaf untuk pribadinya. Kesalahan ini misalnya penulisan kata shalat dan zakat dengan huruf waw. Sedangkan hadis “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf ...” dianggap sebagai hasil rekayasa untuk pembenaran terhadap kekeliruan yang terjadi. Pandangan dan sikap kritis seperti ini dikemukakan antara lain oleh beberapa intelektual dari Jaringan Islam Liberal atau JIL
C.     Pendekatan Fenomenologis melihat adanya perbedaan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an memang terjadi sejak zaman Nabi. Perbedaan tersebut ternyata memang dibolehkan secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Toleransi tersebut diberikan oleh Beliau dengan mempertimbangkan adanya perbedaan di kalangan umat Islam dalam hal pengetahuan, kemampuan atau bahasa dan perbedaan dialek bahasa Arab di kalangan sahabat itu sendiri. Bagi kalangan fenomenologis ini, kebolehan untuk berbeda dalam membaca al-Qur’an ini menunjukkan tingginya toleransi Nabi dalam menghadapi perbedaan di kalangan umat Islam. Perbedaan dalam hal yang sensitif saja, seperti bacaan dan tulisan al-Qur’an, oleh Beliau masih diberi kelonggaran, apalagi perbedaan dalam persoalan kecil lainnya yang tentu lebih dibolehkan. Pendekatan fenomenologis ini lebih tepat untuk menciptakan hubungan serasi dan harmonis di tengah berbagai perbedaan. Hal lebih penting lainnya adalah kemampuan pandangan fenomenologis ini dalam menciptakan kebebasan dan mendorong umat Islam untuk tetap kreatif dan inovatif dalam membangun peradaban, sebagaimana dicontohkan oleh keragaman banyak sahabat dalam menulis mushaf, dan sikap Nabi SAW yang tetap mengakomodir berbagai perbedaan tersebut.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar