SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MUSHAF
Persoalan mengapa terjadi
perbedaan dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an (perbedaan mushaf) telah
mendapat perhatian dan dijawab oleh kalangan ilmuwan muslim dengan berbagai
pendekatan.
A.
Pendekatan tradisionalis melihat
perbedaan dalam bacaan dan tulisan al-Qur’an sebagai ketentuan dari Nabi atau
bahkan langsung dari Allah SWT. Dalam pendekatan ta’abbudiy ini ada
anggapan kuat bahwa berbagai tulisan al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah
standar bahasa Arab memang berasal dari Nabi, sebagaimana peletakkan urutan
serta nama ayat dan surat juga berasal dari Beliau. Perspektif tradisionalis
ini memang lebih banyak mengangkat aspek realitas namun cenderung tidak kritis
karena kurang menggali latar belakang perbedaan dalam penulisan atau pembacaan
al-Qur’an. Kelemahan lain dari pendekatan ini adalah kurang mengungkap
nilai-nilai positif dan pemanfaatan perbedaan untuk menggali kekayaan dan
kedalaman pemikiran Islam ke depan. Kata shalat dan zakat dalam mushaf
Utsmani misalnya ditulis dengan huruf waw, padahal kaidah standar menggunakan
huruf alif. Namun ada yang meyakini penyimpangan seperti ini memang berasal dari
Nabi SAW sehingga harus diikuti apa adanya. Bagi kalangan ini, dispensasi
kebolehan berbeda dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an hanya bersifat darurat,
untuk sementara pada situasi saat itu saja, dan tidak berlaku lagi untuk masa
dan orang-orang sesudahnya. Asumsi seperti ini ternyata banyak dipertahankan
oleh banyak ulama tafsir atau penulis kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an.
Pendekatan dan pola pikir seperti ini tentu cenderung bersifat taqlid sehingga
kurang mengembangkan inovasi dan kreatifitas umat Islam. Pandangan tidak
jauh berbeda dikemukakan oleh Said Sukamta yang menyatakan bahwa kebolehan
berbeda dalam bacaan atau tulisan al-Qur’an pada masa Nabi memang ada namun
kebolehan itu bersifat terbatas dan darurat. Untuk saat ini tidak boleh ada
perbedaasn lagi.
B.
Pendekatan Kritis memandang
perbedaan dan penyimpangan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an bukan sebagai
hal yang alami, tetapi justru mencurigai memang ada unsur-unsur kesalahan di
dalamnya. Kesalahan ini sangat mungkin dilakukan oleh tim penulis mushaf
bentukan khalifah Utsman yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit atau juga dilakukan
oleh individu sahabat tertentu ketika menulis mushaf untuk pribadinya.
Kesalahan ini misalnya penulisan kata shalat dan zakat dengan huruf waw.
Sedangkan hadis “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf
...” dianggap sebagai hasil rekayasa untuk pembenaran terhadap kekeliruan yang
terjadi. Pandangan dan sikap kritis seperti ini dikemukakan antara lain oleh beberapa
intelektual dari Jaringan Islam Liberal atau JIL
C.
Pendekatan Fenomenologis
melihat adanya perbedaan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an memang terjadi sejak
zaman Nabi. Perbedaan tersebut ternyata memang dibolehkan secara langsung oleh
Nabi Muhammad SAW. Toleransi tersebut diberikan oleh Beliau dengan
mempertimbangkan adanya perbedaan di kalangan umat Islam dalam hal pengetahuan,
kemampuan atau bahasa dan perbedaan dialek bahasa Arab di kalangan sahabat itu
sendiri. Bagi kalangan fenomenologis ini, kebolehan untuk berbeda dalam membaca
al-Qur’an ini menunjukkan tingginya toleransi Nabi dalam menghadapi perbedaan
di kalangan umat Islam. Perbedaan dalam hal yang sensitif saja, seperti bacaan
dan tulisan al-Qur’an, oleh Beliau masih diberi kelonggaran, apalagi perbedaan
dalam persoalan kecil lainnya yang tentu lebih dibolehkan. Pendekatan
fenomenologis ini lebih tepat untuk menciptakan hubungan serasi dan harmonis di
tengah berbagai perbedaan. Hal lebih penting lainnya adalah kemampuan pandangan
fenomenologis ini dalam menciptakan kebebasan dan mendorong umat Islam untuk
tetap kreatif dan inovatif dalam membangun peradaban, sebagaimana dicontohkan
oleh keragaman banyak sahabat dalam menulis mushaf, dan sikap Nabi SAW yang
tetap mengakomodir berbagai perbedaan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar